Kisah Asal Usul Sunan Bonang
Nama asli sunan bonang adalah raden makhdum ibrahim. ia merupakan putra sunan ampel
dan dewi candrawati yang sering disebut nyai ageng manila. Sejak kecil,
ia sudah diberi pelajaran agama islam secara tekun dan disiplin oleh
ayahnya yang juga seorang anggota wali sanga. Dan, ini sudah bukan lagi
rahasia lagi bahwa latihan para wali lebih berat dari pada orang biaya
pada umumnya. Ia adalah calon wali terkemuka, maka Sunan Ampel
mempersiapkan pendidikan sebaik mungkin sejak dini.

Cerita sunan bonang,
Suatu hari disebutkan bahwa raden makdum ibrahim dan raden paku sewaktu
masih remaja meneruskan pelajaran agama islam hingga ke tanah seberang,
yaitu negeri pasai, aceh. Keduanya menambah pengetahuan kepada ayah
kandung sunan giri
yang bernama Syekh maulana ishaq. Mereka juga belajar kepada para ulama
besar yang menetap di negeri pasai, seperti para ulama tasawuf yang
berasal dari baghdad, mesir, arab, persia atau iran.
Raden
makdum ibrahim dan raden paku pulang ke jawa setelah belajar di negeri
pasai. Raden paku kembali kembali ke gresik dengan mendirikan pesantren
di giri sehingga terkenal sebagai sunan giri. Sementara itu, raden
makdum ibrahim diperintahkan sunan ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam
berdakwah, ia sering mempergunakan kesenian tradisional untuk menarik
simpati rakyat, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut bonang”
Bonang
adalah sejenis kuningan yang bagian tengahnya lebih ditonjolkan.
APabila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak, maka timbul suara yang
merdu di telinga penduduk setempat. Terlebih lagi bila raden makdm
ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik tersebut. Ia adalah seorang
wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi. Jika ia membunyikan alat
itu, maka pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya. DAn, tidak
sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan bonang, sekaligus
melagukan berbagai tembang ciptaan beliau.
Begitulah
siasat raden makdum ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah
rakyat berhasil direbut simpatinya, ia tinggal menyiapkan ajaran islam
dalam berbagi tembang kepada mereka. Dan, seluruh tembang yang
diajarkannya adalah tembang yang berisikan ajaran agama islam. Maka,
tanpa terasa penduduk sudah mempelajari gama islam dengan senan hati dan
bukan dengan paksaan.
Tembang Ciptaaan Sunan Bonan Tombo Ati
Cerita sunan bonang,
Di antara tembang raden makdum ibrahim yang terkenal, yaitu “Tamba ati
iku lima ing wernane. kaping pisan maca qur an angen-angen sak maknane.
Kaping pindho shalat wengi lakonono. Kaping telu wong kang saleh
kancanana. kaping papat kudu wetheng ingkang luwe. Kaping lima dzikir
wengi ingkang suwe. Sopo wonge bisa ngelakoni. Insya Allah gusti Allah
nyembadani”
Adapun arti tembang
tersebut adalah obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya. Pertama,
membaca al qur an direnungkan artinya. kedua, mengerjakan shalat malam
(Sunnah Tahajjud). Ketiga, sering bersahabat dengan orang shalih
(berilmu). Keempat, harus sering berprihatin (berpuasa). Kelima, sering
berzikir mengingat Allah di waktu malam. Siapa saja mampu
mengerjakannya. InsyaAllah dia akan mengambulkan.
Sekarang,
lagu ini sering dilantunkan para santri ketike hendak shalat jamaah
baik di pedesaan maupun di pesantren. Sebenarnya, para murid raden
makdum ibhramim sangat banyak, baik itu mereka yang berada di Tuban,
pulau bawean, jepara, maupun madura. Sebab, ia sering mempergunakan
bonang dalam berdakwah, maka masyarakat memberinya gelar sunan bonang.
Tembang ciptaan Sunan Bonang
semakin populer lagi sejak dinyanyikan oleh salah satu penyanyi religi
dari Indonesia, yaitu Opick, jadi tidak hanya para santri saja yang tahu
lagu itu, tapi juga masyarakat luas.
Pada
masa hidupnya, Sunan bonang termasuk pendukung kerajaan islam demak dan
ikut membantu mendirikan masjid agung demak di jawa tengah. Saat itu,
ia lebih dikenal sebagai pemimpin bala tentara demak oleh masyarakat
setempat. Ia juga memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung, ayah sunan
kudus, sebagai panglima tentang islam demak. Ketika sunan ngudung gugur,
sunan bonang pula yang mengangkat sunan kudus sebagai panglima perang.
Bahkan, ia pun memberikan nasihat yang berharga pada sunan kudus tentang
strategi perang menghadapi majapahit.
Sunan
bonang sangat memperhatikan ajaran islam, sehingga ia sering
menunjukkan tata cara hidup yang baik agar orang islam menjalani
kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaan kepada Allah SWT. Para
penganut islam haruskan menjalankan, seperti shalat, berpuasa, dan
membayar zakat. Selain itu, mereka juga harus menjauhi tiga musuk
utama, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga
musuh itu, mereka dianjurkan untuk lebih banyak berdiam diri, bersikap
renda hatih, dan tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah
SWT. Sebaliknya, mereka harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah,
serta gila pangkat dan kehormatan.
Itulah penjelasan asal usul sunan bonang dalam cerita sunan bonang, semoga dapat menambah ilmu pengetahuan kamu tentang para anggota wali songo.
Sejarah Sunan Gunung
Jati Sunan Gunung jati 1. Asal - Usul Sebelum era Sunan Gunung Jati
berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah
datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama
besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon. Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi
dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang
pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga
tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama
Islam. Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam
demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi
itu hanya terjadi tiga kali. Seperti orang kehausan, kedua anak muda
itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu
agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi
atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam
di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam
seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh
Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya
melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di
Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran
Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan
di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang
pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari.
Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan
menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah
itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan
gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang. Orang yang
menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan,
banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga
terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa
Sunda disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut Caruban. Sebagian
besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian
dibuatnya menjadi petis yang terkenal. Dalam bahasa Sunda Petis dari air
udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran
Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan
ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu
tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil
menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi
Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama
Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir
itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada
Syekh Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan.
Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama
Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu
lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Pangeran Cakrabuana
sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan
dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran
Cakrabuana yaitu Pakungwati. Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang
telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu
Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri
baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan
walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk
pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia
dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru
kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu
ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya
yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah. 2. Perjuangan
Sunan Gunung Jati Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah
dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang
menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang
benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim
Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam
dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau
Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang
Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai
untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan.
Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im
minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat
yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak
masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat
itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten.
Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif
Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja
Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu
maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang
dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke
Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati.
Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan
lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah
besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri
asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok.
Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri
Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat. Bahkan Sunan Gunungjati pernah
diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama
Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga
beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat
hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata
menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya
menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa
dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri
Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak,
diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden
Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk
mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun
masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu.
Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit. Pada tahun
1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi
incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu
bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden
Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang
Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang
kuat di Malaka. Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang
dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa.
Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu
beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Raden Patah wafat
pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha
memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur
sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh
Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan
Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang
akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang
pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam
pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan gabungan
Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan
Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka
diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru
yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah
Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya
dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon
selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu
arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini
tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati
yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran
Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda
Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan
Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan
daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang
dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh
yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban.
Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu. Kemenangan demi kemenangan
berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama
dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah
dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan
Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran
Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau
Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan
Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan
sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati
Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Adapun nama aslinya
Adipati Carbon adalah Aria Kamuning. Sunan Gunungjati wafat pada tahun
1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa
beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai
Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh
itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Sejarah Sunan Gunung
Jati Sunan Gunung jati 1. Asal - Usul Sebelum era Sunan Gunung Jati
berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah
datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama
besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan
agama Islam di sekitar daerah Cirebon. Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi
dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang
pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga
tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama
Islam. Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam
demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi
itu hanya terjadi tiga kali. Seperti orang kehausan, kedua anak muda
itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu
agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi
atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam
di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam
seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh
Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya
melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di
Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran
Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan
di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang
pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari.
Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan
menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah
itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan
gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang. Orang yang
menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan,
banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga
terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa
Sunda disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut Caruban. Sebagian
besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian
dibuatnya menjadi petis yang terkenal. Dalam bahasa Sunda Petis dari air
udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran
Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan
ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu
tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil
menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi
Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama
Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir
itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada
Syekh Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan.
Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama
Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu
lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Pangeran Cakrabuana
sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan
dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas
Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran
Cakrabuana yaitu Pakungwati. Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang
telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu
Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri
baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan
walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk
pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir,
tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia
dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru
kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu
ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya
yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah. 2. Perjuangan
Sunan Gunung Jati Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah
dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang
menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang
benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim
Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam
dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau
Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang
Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai
untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan.
Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im
minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat
yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun
1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak
masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat
itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten.
Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif
Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja
Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu
maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang
dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke
Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati.
Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan
lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah
besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri
asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok.
Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri
Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat. Bahkan Sunan Gunungjati pernah
diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama
Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga
beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat
hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata
menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya
menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa
dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri
Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak,
diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden
Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk
mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun
masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu.
Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit. Pada tahun
1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi
incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu
bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden
Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang
Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang
kuat di Malaka. Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang
dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa.
Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu
beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Raden Patah wafat
pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha
memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur
sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh
Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan
Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang
akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang
pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam
pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan gabungan
Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan
Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka
diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru
yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah
Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya
dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon
selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu
arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini
tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati
yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran
Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran
Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda
Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan
Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan
daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang
dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh
yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama
Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban.
Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu. Kemenangan demi kemenangan
berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama
dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah
dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati
Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan
Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran
Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau
Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan
Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan
sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati
Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Adapun nama aslinya
Adipati Carbon adalah Aria Kamuning. Sunan Gunungjati wafat pada tahun
1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa
beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai
Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh
itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
0 Response to "KISAH ASAL USUL SUNAN BONANG"
Posting Komentar