SEJARAH TUANKU IMAM BONJOL, PAHLAWAN DARI MINANGKABAU
Di
awal abad ke-19 kondisi masyarakat Minangkabau mengalami perubahan
setelah banyak warga Minangkabau kembali dari menunaikan ibadah haji di
Mekkah. Kedatangan para haji tersebut membawa pandangan baru bagi
masyarakat Minangkabau yang masih memegang teguh adat dan kebiasaan
lama. Adat lama yang berlaku di Minangkabau adalah minum-minuman keras,
menyabung ayam dan berjudi.

Kaum Padri Melawan Kaum Adat
Para
haji melihat bahwa tindakan masyarakat Minangkabau telah menyimpang
dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu, mereka hendak membersihkan
penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam yang ada di masyarakat
Minangkabau dengan cara mengikuti ajaran Islam. Golongan yang ingin
menjalankan aturan agama Islam di Minangkabau disebut Kaum Padri.
Di
lain pihak, Kaum Adat masih berpegang atas kebiasaan lama dan menentang
usaha pembaruan yang dilakukan oleh Kaum Padri. Dengan demikian,
lahirlah dua kelompok masyarakat Minangkabau dan menimbulkan
pertentangan. Adanya dua pandangan yang berbeda tersebut menimbulkan
ketegangan yang akhirnya meningkat menjadi bentrokan senjata. Walau
sama-sama berdarah Minangkabau, pandangan yang berbeda menyebabkan
pertikaian darah.
Belanda Mendukung Kaum Adat
Pertentangan
semakin meningkat di daerah Bonjol sehingga Kaum Adat terdesak oleh
Kaum Padri. Perlawanan Kaum Padri tersebut dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol. Pertentangan kedua golongan masyarakat di Minangkabau berubah
setelah datangnya campur tangan dari pihak ketiga. Pihak lain yang masuk
dalam konflik tersebut adalah Inggris yang dipimpin oleh Raffles dan
Belanda yang menerima kembali kekuasaannya dari tangan Inggris.
Keterlibatan
pihak ketiga ini sangat ditentang oleh Kaum Padri. Mereka merasa
terjajah oleh bangsa asing di tanah Minangkabau. Sementara itu, Kaum
Adat meminta bantuan dari pihak penguasa asing untuk melawan Kaum Padri
di Minangkabau. Dengan adanya campur tangan penguasa asing tersebut,
Kaum Padri tidak hanya berhadapan dengan Kaum Adat tetapi berhadapan
juga berlawanan dengan penguasa asing, yaitu Belanda, yang hendak
menanamkan kekuasaannya di Minangkabau.
Kebencian
Kaum Padri terhadap Belanda diwujudkan dengan penyerbuan pos Belanda
yang dimulai pada tahun 1821. Perlawanan tersebut dilakukan dengan
mendirikan benteng-benteng pertahanan Kaum Padri di daerah Boneo, Agam,
Bonjol dan beberapa tempat lainnya. Pertempuran Kaum Padri melawan
pasukan Belanda tersebut berjalan cukup lama, yaitu sampai dengan tahun
1825.
Konsentrasi Belanda Terpecah
Bersamaan
dengan berlangsungnya pertempuran di Minangkabau, Belanda juga sedang
menghadapi perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa.
Akibatnya adalah pasukan Belanda di Minangkabau banyak yang ditarik ke
Pulau Jawa. Akibat kekurangan pasukan di Minangkabau, Belanda
menggunakan taktik damai untuk meredam perlawanan Kaum Padri. Perdamaian
tersebut tidak berlangsung lama karena Belanda sering menekan rakyat
Minangkabau.
Perdamaian yang gagal
menghasilkan perlawanan hebat dari Kaum Padri dan banyak menelan korban
dari kedua belah pihak. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun
1830, Belanda kembali mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk
menyerang Kaum Padri. Penyerangan pasukan Belanda dibantu oleh pasukan
yang baru pulang dari Pulau Jawa untuk menyerbu benteng pertahanan kaum
Padri.
Tuanku Imam Bonjol Ditahan
Pertempuran
sengit berkobar pada tahun 1833 dan akhirnya melemahkan kekuatan Kaum
Padri yang bermarkas di Tanjung Alam. Pemimpin Padri lainnya seperti
Tuanku Nan Cerdik bahkan menyerahkan diri ke pihak Belanda. Sejak saat
itu, Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan rakyat Minangkabau seorang
diri. Kegigihan Tuanku Imam Bonjol dalam memimpin perlawanan menyebabkan
Belanda harus menambahkan pasukan gabungan orang Afrika, Eropa dan
pribumi.
Setelah mengalami
tekanan-tekanan berat dari pihak musuh, Tuanku Imam Bonjol mengadakan
perundingan damai dengan Belanda pada tahun 1837. Perundingan ini
digunakan oleh Belanda untuk melihat kekuatan Kaum Padri yang ada di
Benteng Bonjol dan Tuanku Imam Bonjol diharapkan agar rela menyerahkan
diri. Perundingan tersebut gagal tercapai karena pihak Belanda telah
melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut.
Akhirnya,
pertempuran pun meledak sehingga benteng Kaum Padri dikuasai oleh
Belanda. Tuanku Imam Bonjol ditahan pada tanggal 25 Oktober 1837. Dengan
ditangkapnya Imam Bonjol bukan berarti perlawanan rakyat Minangkabau
terhenti sampai disitu. Perjuangan masyarakat Minangkabau terus
berlangsung walaupun dalam skala kecil, seperti halnya pergerakan rakyat
yang dipimpin oleh Tuanku Tambusi.
http://www.sarkub.com/2012/tuanku-imam-bonjol-bukan-wahabi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol
0 Response to "SAJARAH TUANKU IMAM BONJOL, PAHLAWAN DARI MINANGKABAU"
Posting Komentar